Ruang yang salah

Aku masih berada di ruang gelap itu

“Terkurung ?”

Tidak

Akulah yang mengurung diriku sendiri

“Terjebak?”

Tidak juga

Akulah yang dengan sadar menjebak diri

di sana

Akulah yang memutuskan untuk membuka pintu

dan membiarkan diriku terkunci

di dalamnya.

Akulah, ya aku sendiri

Dengan penuh kesadaran

Menuruti rasa ingin

Melangkahkan kaki

Meski aku mengetahui

hanya pekat yang akan ku lihat

Meski aku menyadari

hanya rasa takut yang akan membersamai

Nampak bahagia,

Nyatanya hampa

Terlihat penuh tawa,

nyatanya luka

Semua rasa hanya dusta semata

Selama aku di sana

Di ruang yang tak seharusnya

Entah sampai kapan.

Dermaga

Ijinkan perahuku bersandar.

Sejenak saja.

Tidak lama,

sebentar lagi.

Aku masih ingin merasakan hembusan angin

dan biru nya pantaimu.

Sejenak saja, kumohon.

Sebelum aku bisa melanjutkan kembali perjalanan. Pergi meninggalkan keindahan yang kau suguhkan.

Lantas menyimpannya dalam kenangan.

Sebuah perjalanan.

Pangandaran 2020

Bolehkah?

Bolehkah..

Sejenak saja aku dapat memaki orang lain

Bolehkah…

Sejenak saja aku ingin menyalahkan orang lain

Bolehkah..

Sejenak saja aku mengatakan bahwa aku tidak bersalah

Bolehkah…

Sejenak saja aku ingin berkata pada diri bahwa aku manusia yang layak

Bolehkah…

Sejenak saja aku ingin menipu diri bahwa aku masih baik-baik saja

Bolehkah…

Ya, bolehkah

Sejenak saja, hanya untuk sekedar menghela nafas

Melepas sesak yang kian mencekik

Bolehkah…

Sejenak saja, agar aku berhenti mengutuk diri

Bolehkah..

Sejenak saja, agar aku merasa layak

Bolehkah..

Hanya agar aku kembali memiliki keberanian untuk sekedar berdiri tegak

Tak menunduk lagi

Aku tak ingin berhenti sampai sini

Aku tak ingin menyerah dan menjadi pecundang di kehidupan ini

Aku ingin bertahan

Bolehkah…?

(Memilih) Berhenti Bekerja di Tengah Corona

“Orang lain cari kerja susah, ini udah enak malah keluar”

“Lagi corona gini resign? Aduh sayang banget. Oranglain mah pada mau kerja kaya kamu”

“Oranglain jualan karena gak ada kerjaan. Kamu udah punya gaji tetap, kerja enak malah resign buat jualan”

“Bla..bla..bla”

Ya, kurang lebih seperti itulah segelintir ucapan ‘kepedulian’ beberapa orang padaku saat mendengar kabar bahwa aku sudah memutuskan berhenti dari pekerjaanku sebelumnya.

Terganggu? Risih? Sakit hati?

Hmm ya awalnya perasaan seperti itu muncul, namun berkat kehadiran keluarga dan sahabat terutama orangtua yang selalu mendukung setiap keputusan anaknya, aku sekarang sudah mulai terbiasa dan gak lagi ‘baper’ saat ada orang yang mengomentari pilihanku. 😁

Ya, sudah dua bulan berlalu sejak aku memilih untuk berhenti bekerja dan kembali mengejar impianku untuk memulai usaha di bidang yang sangat aku minati sejak kecil. Bidang fashion.

Meski bisa dibilang sedikit modal nekat juga, karena berani memulai dengan modal seadanya saja dan tidak ada dana cadangan lain selain gaji terkahir yang didapat. Tapi Alhamdulillah semuanya berjalan cukup lancar hingga hari ini πŸ₯Ί

“Udah gak kerja, uang hasil jualan apakah cukup?”

Alhamdulillah. Walaupun memang tidak se ‘nyaman’ saat masih bergaji tetap, tapi Allah Subhanahu wata’ala hingga detik ini masih memberikan rezeki yang bagiku cukup.

“Lalu, nyesel gak sih keluar kerja di tengah pandemi kaya gini, dimana semuanya serba susah?”

Ya. Aku MENYESAL. Nyesel banget kenapa gak resign lebih cepet untuk memulai hal yang memang sejak dulu aku inginkan 😁

Setiap pilihan memiliki konsekuensi. Saat memutuskan menyerahkan surat pengunduran diri pun, aku sudah memikirkan bahwa pilihan ini akan sulit, kenyataannya tidak akan seindah dan semudah ekspektasi. Namun,banyak hal yang aku pelajari semenjak resign dan memulai usaha dari 0 yang masih seumur jagung ini. Beberapa diantaranya mengenai konsep rezeki, arti bersyukur, dan memiliki prioritas.

Semenjak merasakan banget ‘susahnya’ dapet Rupiah, aku jadi semakin sadar bahwa rezeki gak melulu soal materi. Dan rezeki tuh udah ada takarannya masing-masing, gak akan ketuker apalagi diambil orang (soalnya kalo diambil orang ya berarti memang bukan rezeki kita πŸ˜†).

Selain itu, aku semakin disadarkan tentang rasa syukur. Bisa tidur cukup dan tepat waktu (gak insomnia lagi), bisa bangun setiap harinya, bisa nafas, bisa makan, bisa kumpul keluarga, bisa sering berinteraksi dengan saudara dan tetangga, ketemu temen-temen lama, menekuni hobby, dan berbagai hal lainnya yang sedikit sulit untuk dilakukan saat aku masih berstatus seorang karyawan.

Dan yang secara alami aku rasakan selepas resign ialah, aku jadi punya skala prioritas terutama dalam oenggynaan uang dan Alhamdulillah sekarang udah bisa bener-bener ngejalaninnya. Banyak hal yang tidak terlalu penting dan manfaat aku beli saat masih kerja dengan dalih ngelepas stress dan ingin mengapresiasi diri yang sudah capek kerja. Tapi kini Alhamdulillah aku lebih bisa ‘nge-Rem’ dan memilah antara keinginan dan kebutuhan. Karena aku sadar, 1 rupiah itu gak mudah dapetinnya πŸ˜… eits tapi bukan jadi pelit ya, cuma lebih bijak penggunaan uang aja 🀭

Memutuskan untuk berhenti bekerja bukanlah hal yang mudah, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Dimana orang lain dengan sangat terpaksa diberhentikan sedangkan mereka sebagai tulang punggung keluarganya. Tapi satu hal yang harus selalu kita ingat. Bahwa segala sesuatu yang menimpa kita sudah menjadi jalan dari rencana terbaikNya. Rezeki kita sudah ditakar, tidak akan tertukar. Berusahalah semaksimal mungkin. Jangan menyerah dan berputus asa dari RahmatNya.

Untukmu yang (merasa) berbeda

Teruntuk semua saudariku….

Jika engkau merasa berbeda karena prinsipmu

Jika engkau merasa berbeda karena pakaian besarmu

Jika engkau merasa berbeda karena khimar lebarmu

Jika engkau merasa berbeda karena cara pergaulanmu

atau mungkin engkau merasa berbeda dengan cadarmu

Ya, jika engkau merasa dirimu tak sama dengan mereka

Merasa sendiri, asing dan benar-benar berbeda dari orang umumnya.

Disaat perempuan lain begitu bangga dengan topeng makeup tebal di wajahnya

Disaat perempuan lain dengan pongah memamerkan auratnya

Disaat perempuan lain merasa bahagia dengan pasangan tak halalnya

Disaat perempuan lain bercampur baur bahkan bersentuhan dengan non mahramnya

Ya, disaat kebanyakan orang melakukan hal yang berlawanan dengan apa yang telah kita coba amalkan

Yakinilah, mungkin kita dianggap aneh, asing bahkan menakutkan bagi mereka namun dimataNya jelas tak akan demikian adanya. InsyaaAllah.

Tak apa jika orang lain menganggapmu berbeda

Buktikanlah bahwa kita benar-benar berbeda dari diri kita yang lama

Selalu berusaha menjadi sebaik-baiknya hamba.

Wisma QQ , 09022016 | @rositadhayati

Hari gini gak pacaran?

β€œTeteh jones single, gak punya pacar?” kurang lebih begitulah setiap kali ada teman atau kerabat yang bertanya. Apalagi jika di moment kumpul keluarga besar dari kedua orangtua, pasti ada saja yang bertanya β€œMana atuh si aa nya gak dibawa?”, β€œKe orang mana sekarang?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang ditanyakan dari kalangan tua bahkan sampe bocah-bocah cilik. Alakma, padahal aku ini masih unyu-unyu muda to?. 😦

β€œHello sist, hari gini gak pacaran, apa kata dunia?” *tepok jidat*

Lalu apa jawabannya jika kita ditanya seperti itu?

β€œHello sist, hari gini masih pacaran, apa kata akhirat?” *elusdada*

β€œMaaf ya Om, Tante, Kakek, Nenek,Bibi,Mamang,Teteh,Aa dan adek-adek sekalian. Pacaran itu buang – buang waktu percuma, dan GAK BOLEH, gerbangnya Zina. Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”

Itulah jawaban saya, dalam hati. πŸ˜€

Jika mendapatkan pertanyaan seperti itu, senyumin aja dan katakan do’ain aja, calon saya sedang menempuh perjalanan jauh sambil memantaskan diri. πŸ™‚

Tak mudah memang menjelaskan, memberi pengertian tentang sebuah prinsip untuk tidak lagi pacaran sebelum menikah. Banyak yang meragukan, dan tidak sedikit yang bilang bahwa jalan yang insyaaAllah akan saya pilih untuk taaruf itu bagaikan membeli kucing dalam karung. Iya gitu? Bukannya pacaran yang lebih kayak beli kucing dalam karung?

Bagaimana mungkin kamu bisa menikah dengan seseorang yang baru saja kamu temui. Dengan orang yang bahkan baru kau tahu namanya. Bagaimana mungkin menikah tanpa pacaran, dimana didalamnya kamu akan mengenali siapa dia dan bagaimana sifatnya. Itulah yang kebanyakan orang utarakan ketika saya menyatakan untuk tidak lagi pacaran. Yakin nih kalau si doi menunjukan sikap dan sifat aslinya? Bukankah kalau orang pacaran hanya menampakkan yang baik-baik saja dan berusaha menutupi sifat buruknya?

Begitupun jika saya bercerita dengan Mama. Awalnya Mama pun meragukan dengan apa itu taaruf, apalagi keluarga saya, namun lambat laun Mama mulai menunjukan bahwa beliau mulai satu pandangan dengan anak bungsunya ini. Bahkan kabarnya Bapak sedikit bangga dengan sibungsu yang memilih untuk tidak lagi pacaran disaat yang lain begitu bangganya bisa gonta ganti pacar. Thanks Dad πŸ˜€

Ketika orang lain mengatakan bahwa pacaran itu satu-satunya jalan untuk mengenal, bagi saya tidak demikian. Banyak jalan lain yang insyaaAllah lebih Allah ridhoi.

Ketika oranglain mengatakan rugi tidak pacaran karena saya melewatkan kebahagiaan masa muda saya. Bagi saya tidak demikian. Saya pernah pacaran dulu, dan sanya menyesal karena membuang waktu percuma.

Tidak akan kita dapati sebuah kebahagiaan dalam jalan kemaksiatan, karena kebahagiaan sejati hanya ada dalam jalan ketaatan.

Lalu, bagaimana jika kita tidak pacaran namun dekat untuk saling mengenal satu sama lain?

Jika saling mengenal itu hanya dalam hitungan bulan menuju pernikahan, maka tidak ada salahnya saling mengenal namun tentunya ada batasan dan ada aturan dalam permainanya. Tidak bisa seenak kita, semau gue. Bukan dengan cara komunikasi berlebih, berduaan,jalan bareng,makan bareng, telponan,sms-an, whatsapp-an, dan komunikasi lewat media apapun yang caranya tidak jauh berbeda bahkan sama saja seperti orang pacaran.

Tapi, kita kan jauhan karena beda pulau, gak apa-apa mereun kalo telponan buat sekedar tanya kabar?

Jika aktivitasnya sama kayak pacaran, gak ada bedanya Mas Bro ! Kalau kata Ustadz Felix, mau beda pulau, beda negara, beda alam tetep aja yang namanya interaksi laki-laki dan perempuan itu ada batasannya. Dosa ya tetap saja dosa, tidak dipengaruhi jarak,waktu dan keadaan.

Daripada kita habiskan waktu bertahun-tahun untuk saling mengenal, padahal itu tidak menjamin apa-apa kecuali peluang untuk melakukan dosa, lebih baik kita membangun kesiapan untuk menerima. Sehingga siapa pun yang kelak menjadi teman kita dalam membina rumah tangga, apakah kita sudah begitu mengenalnya atau baru sekadar tahu nama, ia akan bahagia karena kesediaan kita menerima ketidaksempurnaanya. Bahwa di dalam diri kita ada jiwa yang begitu lapang, yang siap menampung berbagai cerita, mimpi, amarah, keluh, kesah, luka dan air mata. (Azhar Nurun Ala)

Karena berlama lama mengenal bukan jaminan kalian akan hidup bersama. Begitupun dengan sebuah pertemuan dan perkenalan singkat, tidak berarti ‘cinta sesaat’ yang akan berujung pada kebersamaan yg singkat. Bukankah saling mengenal dan memahami selepas halal itu jauh lebih nikmat? *katanya* πŸ˜€

So, buat kita yang mulai tergoda dan goyah. Jangan deh, jangan sedikit pun tergoda sama yang namanya pacaran. Dosanya iya, jodohnya belum tentu. Jadilah jomblo yang bermartabat dengan terus menerus berusaha taat. Jangan tergiur dengan nikmat sesaat yang ditawarkan pacaran. Lebih baik terus memperbaiki diri, menambah ilmu. Jangan galau melulu perkara virus merah jambu. Banyak hal lain yang masih harus dibenahi, dan lebih layak untuk dipikirkan.

Dan bagi yang terlanjur sudah pernah pacaran. (Termasuk si aku 😁) .Tidak apa. Semua orang pernah berbuat kesalahan. Mari memperbaiki kesalahan yang telah lalu. Menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Setidaknya lebih baik dari diri kita yang sebelumnya.

Potret

Dalam sebuah foto, Semua orang akan menunjukan sisi terbaiknya.
Hampir tidak ada istilah ‘apa adanya’. Semua orang berusahaΒ  untuk menunjukan senyum terbaik dalam setiap potretnya. Mengabadikan moment paling bahagia. Mengenakan pakaian terbaik yang dipunya. Berusaha menunjukan bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya penuh kebahagiaan, tawa, dan nyaris sempurna.


Dan jika kulihat di dinding itu, ada banyak sekali senyum yang terukir.Β  Ada banyak kebahagiaan yang berhasil terabadikan lensa


Ya, tidak salah memang karena sejatinya kita semua hanya ingin mengenang bahagia dan mengabadikan tawa.

Kita tak akan pernah tahu, diantara banyak senyum kebahagiaan yang terpampang di sana mungkin ada senyum terpaksa, senyum kecewa, senyum penuh luka, dan hati yang sedang berusaha untuk baik – baik saja.

Sebuah Perjalanan

Dalam perjalanan hidup, kamu telah mengalami banyak hal. Beberapa kegagalan. Beberapa perubahan. Ditinggalkan, dikhianati, dan dikecewakan.


Dalam perjalanan hidup. Ada masa dimana kamu merasa lelah. Ada saat dimana kamu merasa berada di titik terendah. Ingin menyerah saja. .


Kau lelah. Aku tahu itu. Aku mengerti semua kelelahanmu menghadapi semuanya.
Kau kehilangan kendali atas dirimu.



Sampai pada satu titik, akhirnya kau baru menyadari. Bahwa semuanya adalah bentuk cintaNya padamu.

Allah tengah menyelamatkanmu. Allah ingin kamu kembali menggantungkan harapmu hanya padaNya, bukan pada selainNya.


Ya, kau telat menyadarinya. Bahwa dengan semakin mendekat padaNya kau bisa menyembuhkan semua luka.


Tak perlu kau pergi ke berbagai tempat untuk melepaskan semua sesakmu. Cukup dengan sujud panjang, berceritalah, tumpahkan semuanya hanya kepadaNya.

Dan hari itu, disalah satu rumahNya. Semuanya tumpah begitu saja.

#monolog #perjalanan

Tulisan yang tak kunjung selesai

Jari-jari itu mulai lincah kembali menari di atas papan huruf. Memijit satu persatu huruf-hurufnya. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Paragraf demi paragraf. Lembar demi lembar.

Namun…. tak kunjung selesai.

Terkadang ingin rasanya mengutuk diri yang telah berani memulai cerita namun tak pernah memiliki keberanian untuk mengakhirinya. Berani menghidupkan sebuah tokoh, menyelam ke dalam kehidupannya, larut hingga terlalu dalam, merasa tokoh itu adalah bagian dirinya.

Hey, ada apa? Bukankah ia hanyalah tokoh dalam ceritamu? Ia hanya tokoh fiktif, tak nyata. Apa yang menjadikanmu selalu tak tega bila tanganmu mulai lincah menentukan alur kehidupannya. Mengapa selalu engkau hentikan? Ah, kau terlalu melibatkan perasaanmu padanya.

Memang terkadang aku pun mulai menyadari titik kelemahan ini. Aku terlalu mencintai tokohku. Melibatkan perasaanku sepenuhnya dalam kehidupannya yang sebenarnya berada di tanganku. Dan.. mungkin tanpa aku sadari aku telah memaksakannya menjadi seperti tokoh yang hadir dalam cerita hidupku, hingga aku terlalu mencintainya dan selalu tak ingin melukai apalagi membuatnya menderita.

——

Itulah curhatanku beberapa tahun lalu. Ketika tak kunjung bisa menyelesaikan target tulisan.

Namun dari sana aku mulai berpikir, mulai menyadari suatu hal.

Betapa Allah Subhanahu wata’ala teramat mencintai hambaNya. Mempersiapkan segala hal yang terbaik untuk hambaNya.

Tapi sayang, terkadang kebanyakan dari kita salah sangka. Kurang bisa berkhusnudzhon. Sehingga tak jarang ada yg merasa bahwa Allah Subhanahu wata’ala tidak adil terhadapnya. Naudzubillah.

Padahal, jika kita renungi kembali. Betapa Allah Subhanahu wata’ala telah menciptakan kita dengan penuh kesempurnaan. Menentukan alur cerita kehidupan kita dengan sebaik- baiknya perencanaan. Dan menuntun kita dengan memberikan sebaik-baiknya petunjuk, agar kita bisa sampai di tujuan dan menjalani kehidupan setelah kematian di tempat terbaik, jannahNya.

Kembali

Setiap orang pernah mengalami hal yang namanya jatuh. Entah itu jatuh cinta, jatuh sakit, jatuh bangkrut, atau pun jatuh dalam artian sebenarnya.

Ya, semua orang pernah dan akan mengalaminya, setidaknya satu kali dalam hidupnya.

Dan, begitu pun dengan saya.

Empat tahun lalu saya memutuskan untuk berhenti menulis di blog, terutama di blog ini. Saya menutup semua akun sosmed saya bahkan ada yang saya hapus secara permanen. Dan mungkin saat itulah titik terendah saya.

Dari semua hal yang saya lewati sejak saat itu. Saya menyadari bahwa,

Ada saatnya ketika kita merasa apa yang kita tulis dan sampaikan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan.

Ada saatnya ketika kita merasa bahwa kita tidak pantas untuk sekedar berbagi tulisan.

Padahal, bukan tidak mungkin dari tulisan sederhana dan terkesan lebih ke curhatan itu bisa mendatangkan kebaikan setidaknya sedikit kebaikan bagi saya dan bagi orang lain yang membacanya.

Seorang sahabat pernah menasehati,

Jika saya takut apa yang saya tulis tidak sesuai dengan apa yang dilakukan, tak apa itu bagus. Agar saya bisa selalu menjaga perilaku saya.

Jika saya merasa tidak pantas, tak apa itu bagus. Agar tidak lahir kesombongan di hati saya.

Saya diingatkan kembali tentang niat awal menulis dan membuat blog. Niatkan menulis untuk menasehati diri sendiri, untuk pengingat diri, sebagai tempat berbagi kisah hidup saya yang biasa saja, bukan untuk merasa paling benar dan paling baik dari orang lain.

Terimakasih untuk teman – teman yang sering membaca tulisan saya selama ini dan membuat saya termotivasi untuk kembali bercerita melalui tulisan di blog ini.

Bismillah. Semoga tulisan di blog ini dapat bermanfaat. Khususnya bagi saya.

❀